Abimanyu Terjebak Perangkap Mahadigda
Abimanyu Terjebak Perangkap Mahadigda
Dia putra Arjuna yang lahir dari cintanya yang pertama kepada seorang wanita yang bernama Sumbadra putri Raja Basudewa dari Dewi Badraini. Abimanyu kekasihnya satria muda usia, sopan tutur bahasanya, ortmat kepada orang tua dan tak segan menolong sesamanya. Istrinya bernama Utari putri Raja Wirata, berputra seorang bernama parikesit yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Astina menggantikan Prabu Yudhistira. Sayang ia kurang wiwaha seperti kebanyakan anak muda. Tindakannya ceroboh menurut kata hati tak pandang bahaya mengancam akhirnya terjadi malapetaka menimpa dirinya. Malapetaka itu terjadi ketika satria Plengkawati itu hendak menolong pasukan pandawa yang terkepung rapat balatentara Kurawa di Tegal Kuru Setra Dengan keberanian yang luar biasa ditunjang semangat yang menyala-nyala, diterjangnya barikade musuh hingga porak poranda dan pasukan Pandawa pun terbebas dari malapetaka yang nyaris menghancurkan.
Namun rupanya si anak muda itu belum merasa puas, darah mudanya bergejolak, ia terus menghajar musuh seorang diri walau sempat diperingatkan para Pandawa agar tidak meneruskan maksudnya, tapi tak digubrisnya. Ia malah terus memacu kudanya melaju menggempur musuh hingga jauh menusuk jantung pertahanan Kurawa. Akibatnya perbuatan yang berani tetapi tak berhati-hati itu berakibat fatal baginya. Pihak Kurawa yang lebih unggul dalam pengalaman taktik strategi perang telah memasang perangkap yang disebut Durgamarungsit, yaitu sebuah perangkap semacam bubu yang apabila orang masuk ke dalamnya tak akan bisa keluar lagi. Siasat itu ditambah lagi dengan perangkap yang lebih berbahaya lagi yaitu perangkap Gelar Maha Digua semacam pintu jebakan. Di setiap balik pintu telah bersembunyi sebagai algojo. Di situlah si anak muda belia itu dibantai, dibokong dari belakang, dihimpit dari pinggir, dihadang dari depan serta dihujani berbagai rupa senjata hingga bandanya arang kerancang. Akhirnya gugur ditikam dari belakang oleh tumenggung Kelana jayadrata. Kualitas manusia Kurawa sungguh tak berperikemanusiaan, curang dan menyalahi aturan perang. Anak yang masih ingusan diperlakukan bagai binatang buruan dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang bukan layak menjadi lawannya.
Akibatnya anak tewas secara tragis, Arjuna terpukul jiwanya. Ia tampak lesu tak bergairah hingga membuat para Pandawa prihatin mengingat Arjuna andalan dalam perang itu. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan, Kresna memberi wejangan: "Adikku, sedih, nelangsa, sakit hati sudah lumrah dalam hidup ini. Itu pertanda kita masih memiliki perasaan. Tetapi janganlah kesedihan itu berlarut-larut hingga menghambat perjuangan yang sedang kita hadapi. Tabahkanlah hati adinda menghadapi cobaan ini. Gugurnya Abimanyu tidaklah sia-sia, dia telah membuktikan dirinya sebagai pejuang muda yang gagah perkasa pantang menyerah. Dia gugur sebagai kusuma bangsa yang akan dikenang sepanjang masa," ujarnya. Wejangan Kresna itu memberi pengertian, bahwa apa pun yang terjadi walau pahit dirasakannya, hendaknya diterima dengan kebesaran jiwa sebagai tolak ukur atas kelebihan dan kekurangan manusia. hati Arjuna terusik mendengar wejangan itu lalu berkata: "Duh kanda Batara. hamba bukans edih karena kematian anak. Hamba hanya tak rela 'cara'nya anak itu mati. Hamba dapat merasakan seolah dia pun tak rela mati dengan cara demikian. Dia seolah tersentak diperlakukan bagai binatang buruan, dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang hanya pantas menjadi lawan hamba. mereka orang-orang sakti tapi tak manusiawi. Karena itu hamba akan menuntut balas," ujarnya penuh rasa dendam. Di saat itu pula emosinya sudah tak terbendung lagi dan tidak seorang pun menduga, ketika dengan tiba-tiba Arjuna berdiri tegak mengangkat senjata tinggi-tinggi seraya berkata: "Wahai bumi dan langit, wahati semua yang hidup, aku bersumpah dan minta kesaksianmu, bahwa esok hari sebelum matahari terbenam aku sudah harus membunuh si kelana Jayadrata. Jika aku gagal, aku akan masuk ke dalam Pancaka." (Pancaka api unggun yang sengaja dibuat untul lebih geni). Usai sumpah seketika terdengar suara dari empat penjuru disertai angin kencana, kilat tatit menggelegar pertanda sumpah Arjuna telah didengar dan bumi langit menjadi saksi. Gegerlah para Pandawa disertai keprihatinan menyaksikan peristiwa yang tak diduga itu.
Mengkaji sumpah Arjuna berawal dari perasaan dendam yang mendalam, memprotes perlakuan Kurawa di luar batas kemanusiaan, telah mendorong sifat keakuannya untuk berbuat sesuatu yang di luar batas kemampuannya, membunuh seseorang dalam waktu yang relatif singkat sebelum matahari terbenam di ufuk barat. Itu adalah suatu kesanggupan yang tidak normal yang pasti akan menjadi beban moril yang amat berat. Akal dan pikiran sehat sudah tidak berfungsi. Tujuan akan menghabisi Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari tenggelam ke peraduannya hanya merupakan impian belaka. Kecanggihan taktik strategi pakar Kurawa terutama Danghyang Dorna yang melindungi, terlalu sulit untuk dapat ditembus hanya oleh keberanian dan kekuatan fisik semata. Dorna telah membuat sebuah benteng yang kuat bagai baja terdiri dari ribuan balatentara Kurawa dan di situlah jayadrata disembunyikan. Meskipun beberapa lapis dapat dihancurkan, namun beratus lapis lagi masih berdiri tangguh. Sementara sang surya sudah semakin condong ke arah barat mendekati peraduannya. Untunglah Arjuna tertolong seorang pakar yang dapat mengubah suasana alam. Kresna segera menutup sinar matahari dengan senjata andalannya, Cakra hingga suasana alam seakan sedang petang. Bersoraklah kaum Kurawa kegirangan, karena Arjuna telah gagal membunuh Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari terbenam. Kegembiraan semakin menjadi tatkala dilihatnya api unggun telah menyala berkobar menerangi alam sekelilingnya. Mereka ingin menyaksikan Arjuna terjun ke dalam api unggun memenuhi sumpahnya. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, bahwa Ajuna telah berada di atas bukit yang tak jauh dari benteng tempat Jayadrata bersembunyi dan siapdengan senjata panahnya. Mendengar sorak sorai dan berkobarnya api unggun bagaikan api neraka yang akan melumat habis Arjuna, Jayadrata tertarik ingin menyaksikan. Kemudian ia memperlihatkan diri. Tetapi baru saja kepalanya menyembul, tak diduga sebuah anak panah melesat bagai kilat da... terpangkaslah kepalanya terpisah dari badannya larut terbawa angin dan lenyap ditelan awan. Seiring dengan itu, alam petang berubah menjadi terang benderang kembali, setelah senjata Cakra diambil oleh pemiliknya. Gegerlah kaum Kurawa menyaksikan kejadian yang tak masuk di akal itu. Hanya Dorna yang tanggap dan mengerti seraya berucap: "Hemmm, memang segala-galanya ada di pihak Pandawa. Kemenangan akhir pun akan diraih oleh mereka," gumannya.
Komentar
Posting Komentar